Rabu, 03 Februari 2016

JEJAK SANG GURU BANGSA


Nama KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tak pernah pupus oleh zaman yang terus berlalu meninggalkan sejarah masa silam. Gus Dur merupakan sosok kharismatik keturunan kiai Jombang. Pribadi mulia dan toleran menjadikan dirinya terus diingat dan dikenang oleh umat manusia di dunia. Pemikirannya yang cemerlang dan jenius selalu menjadi topik pembicaraan di berbagai seminar dan buku-buku. Sudah banyak gelar yang disandang oleh sosok Gus Dur. Salah satunya yaitu; sebagai Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme, Guru Bangsa, dan Bapak Tionghoa karena jasa-jasanya memberikan hak bagi orang Tionghoa yang ada di Indonesia.
Sudah banyak buku telah diterbitkan yang mengulas dan membahas tentang pemikiran dan bahkan kepribadian Gus Dur. Gus Dur sebagai sosok fenomenal di negeri ini setelah melakukan berbagai macam gebrakan kemanusiaan, kebangsaan, dan kenegaraan. Namun, gebrakan-gebrakannya masih menjadi kontroversial di kalangan masyarakat. Dalam kontroversi ini, tentu ada yang pro dan kontra. Itu merupakan sebuah bumbu penikmat tentang pemikiran dan kepribadian Gus Dur yang unik dan menarik untuk terus kita kaji dan pelajari.
Melalui buku yang berjudul “Jejak sang Guru Bangsa” ini M. Hamid akan mencoba untuk menelusuri dan mengkaji tentang kehidupan seorang Gus Dur berikut dengan beberapa peran-peran dan kiprahnya bagi kehidupan bangsa. Dengan ulasan dan gaya sederhana dalam menyibak kehidupan Gus Dur, karya ini mudah untuk dipahami dan menarik untuk dijadikan teman inspirasi kehidupan.
Gus Dur merupakan anak pertama dari enam bersaudara yang lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Sholehah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir pada tanggal 4 Agustus 1940, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti lahir pada 4 Sya’ban 1359 H, sama dengan 7 September 1940 M (hlm. 13).
Bapak Pluralisme
Gus Dur digelari sebagai Bapak Pluralisme, karena keberpihakannya pada kelompok minoritas, baik dalam kalangan muslim maupun karena kedekatannya dengan kalangan umat Krisiten dan Katholik serta etnis Tionghoa. Tidak hanya Indonesia, dunia pun mengakuinya. Namun sikap Gus Dur yang memberi teladan perihal pluralisme tersebut tidak serta merta disepakati oleh semua pihak.
Dalam bukunya, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita” (2006), Gus Dur menjadikan pluralisme dan pembelaan sebagai kata kunci. Kumpulan tulisan beliau ini berangkat dari perspektif korban, terutama minoritas agama, gender, keyakinan, etnis, warna kulit, dan posisi sosial. Menurutnya, Tuhan tidak perlu dibela, tapi umat-Nya atau manusia pada umumnya yang perlu dibela. Salah satu konsekuensi dari pembelaan adalah kritik, dan terkadang terpaksa harus mengecam, jika sudah melewati ambang toleransi (hlm. 89-90).
Perjuangannya yang penuh keberanian untuk menyuarakan yang benar dan membungkam yang salah tak jarang pula Gus Dur harus tersisih. Memang perlu diakui bahwa orang yang berani menyuarakan kebenaran, dirinya harus siap untuk dibakar (sebagaimana Ibrahim), dikeluarkan dari komunitas, dan atau disalib di tiang penuh paku dan duri. Namun, mata masyarakat tak dapat ditutupi dengan penyisihan terhadap Gus Dur. Keyakinan atas kebenaran pembelaan Gus Dur tetap jelas terlihat dan diacungi jempol oleh dunia.
Bagi umat Katholik yang diwakili oleh Sekjen Konferensi Wali Gereja Indonesia Mgr. Johanes Pujo Sumarta Pr. Gus Dur adalah figur anutan bagi umat Katholik dan sosok yang pantas dianggap sebagai guru besat dan bapak bangsa, karena melayani sesama denga penuh kasih dan tanpa membedakan satu dengan lainnya. Hingga saat ini belum ada sosok yang menggantikannya. Terlebih di tengah pluralisme agama di Indonesia (hlm. 97). Sedangkan kontroversi yang sangat mencolok, yaitu konsep pluralisme yang diharamkan oleh fatwa MUI pada bulan Juli 2005, pluralimse dianggap menyamakan semua agama.
Masih banyak sisi kontroversi Gus Dur yang dibahas dalam buku ini. Menariknya, sisi kontroversial tersebut menjadi katalisator tumbuh-kembangnya sikap toleran, konsep pluralisme, dan gerakan anti-diskriminasi dalam masyarakat Indonesia. Tidak mengherankan jika banyak orang yang menjadikan pemikiran Gus Dur sebagai sumber rujukan. Terutama rujukan dalam perjuangan membela hak-hak hidup siapa pun yang terancam oleh dogmatis keagamaan, chauvinisme, dan nasionalisme yang sempit.
Buku ini merupakan testimoni, mengingat kembali bahwa pernah ada seorang tokoh yang selama hidupnya gigih berjuang untuk menciptakan kerukunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gus Dur menganjurkan toleransi sebagai sikap yang mutlak untuk dimiliki oleh setiap warga negara. Ia meyakini bahwa dengan toleransi akan terwujud kerukunan hidup di dalam sebuah negara yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan golongan. Selamat membaca dan menginspirasi perjuangan mulia sosok Gus Dur!
Harga : Rp 30.000 (Diskon 15%) Rp. 25.500
Pesan SMS/WA 0856-0100-1190 ~ Lokasi Jogja ~ Bisa Kirim

0 komentar

Posting Komentar